Senin, 23 Juni 2008

Chairul Rivai bisa menyalip Gajah Mada ?


Anda pernah mampir ke restoran Cwie Mie Malang (CMM)? Walaupun namanya ada kata Malang, tapi restoran ini tidak beralamat di kota Malang, Jawa Timur, dan lebih banyak di Jakarta. Restorannya sederhana, terbuka, tanpa AC, tapi tidak panas karena banyak angin. Sebagai franchise lokal, ia bisa disebut sukses besar.

Biasanya berada di dekat pemukiman, dan di pinggir Jakarta, atau dekat tol lingkar luar Jakarta. Rully tampaknya mendekati pembeli sampai ke depat rumahnya, ketimbang masuk mal. Karena itu, pula barangkali mata dagangannya relatif murah ketimbang makanan di mal.

Dagangannya boleh dibilang campuran makanan tradisional mie ayam dan steak, dan sejumlah menu lainnya. Semua sama di semua cabang. Ada makanan ringan dan aneka minuman.

Dibandingkan dengan restoran mie ayam yang sejenis – Bakmi Gajah Mada, Bakmi Gang Kelinci, dan Bakmi Gindangdia, sekedar menyebut Mie yang terkenal di Jakarta—CMM jauh lebih agresif membuka cabang.

Tapi, jangan dikira, Rully asal membuka cabang. Rully tidak saja melihat kemampuan finansial calon mitranya, tapi juga melihat tingkat keseriusan calon investor. Dan menilai apakah calon rekanannya itu bisa dipercaya.

Tapi, yang jelas, berbeda dengan para pengusaha makanan sejenis mie ini, Rully jauh lebih rasional dalam mengembangkan bisnisnya.

Mulai dari Bawah Ketika lulus SMA di Malang, Chairul Rivai tidak seperti teman-temannya yang lain. Ia memilih sekolah yang tidak popular: perhotelan di Bandung. Jurusan yang dipilihnya adalah makanan, setelah lulus jadi koki. Menurut teman-temannya, profesi ini gajinya lebih besar ketimbang jadi front office, atau jabatan lain di sekolah perhotelan itu.

Tetapi, ketika bekerja mulai berbeda dengan teman-teman sekerjanya. Ia merasakan, bila hanya jadi pegawai, suatu saat ia akan ditendang oleh majikan jika tidak kuat bekerja lagi, atau tidak sehat. Pikiran ini menggelitiknya, dan mendorongnya membangun usaha sendiri. Usaha yang dibangunnya tidak jauh dari keahliannya yang telah digelutinya sejak selepas SMA: di dunia makanan.

Untuk membangun bisnis, rupanya Rully –nama akrab Chairul Rivai—memetik pengalaman yang banyaks ekali sepanjang ia bekerja: di Kemchick bersama Bob Sadino, Restoran milik Rini Suwandi (sekarang Memperindag), Indofood, dan beberapa restoran franchise asing.

Ketika bekerja di Bob, kreativitasnya sebagai pengusaha sudah tampak: ia menciptakan produk baru yang ketika itu belum ada. Misalnya daging berbumbu, yang siap di masak. Juga salad dalam kemasan.

Bakat dagangnya baru tampak jelas, ketika pertama kali merintis usaha bersama temannya orang India. Si India dimintanya menelpon ibu-ibu Dharwa wanita yang ketika itu sedang marak. Di depan kumpulan ibu-ibu dharma wanita yang sedang arisan Rully mengadakan demo masak, yang tentu saja menggiurkan bagi wanita yang pada umumnya gemar memasak.
Dengan cara seperti ini pula, awalnya Rully mengembangkan Cwie Mie.

Sekarang usahanya itu boleh dibilang sukses. Ia mengembangkan dengan cara franchise. Sudah memiliki 10 cabang di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Padang. Semua kebutuhan pokok, termasuk mie, berasal dari Rully. Konsep restoran dibuat sederhana dan terbuka. Selain menarik, juga menghemat listrik. Peralatan dapur pun tidak perlu yang stainless steel. Panci alumunium pun cukup, karena tidak mempengaruhi rasa.

Sekarang, satu restoran bisa menghasilkan Rp 150 juta sebulan, dan ada yang kurang dari itu. Sehingga total ia mengumpulkan sedikitnya Rp 750 juta dalam sebulan.

Tidak ada komentar: