Minggu lalu, di Program Studi Ilmu Manajemen Pascasarjana Universitas Indonesia, saya mengundang sejumlah eksekutif, usahawan, gubernur, dan bupati untuk mendiskusikan bagaimana respons dunia usaha terhadap pelaksanaan otonomi daerah (otda). ”Every beginning is difficult,” setiap hal baru pasti sulit. Begitulah pesan para usahawan kepada para bupati agar jangan menyerah.
Bagi dunia usaha, respons pemerintah daerah yang berbeda-beda di setiap kabupaten cukup merepotkan. Tapi, tentu saja bukan cuma kesulitan yang mereka temui. Ada kalanya ditemui juga bupati yang ”probisnis”. Mereka ini biasanya adalah mantan usahawan yang sekarang mewirausahakan pemerintahannya. Mereka mendorong pengambilan keputusan yang cepat dan sangat berhati-hati terhadap pengenaan retribusi.
Ciri lainnya adalah mereka tidak cengeng begitu melihat pembagian duit dari pemerintah pusat hanya cukup untuk membayar gaji karyawan. Bagi mereka, yang harus disejahterakan pertama-tama adalah rakyatnya, bukan pemda. Namanya juga sedang berada pada tahap membongkar, maka yang terlihat adalah pemerintahan daerah dengan segala ketidakteraturan dan kekacauan. Nanti tentu akan tampak mana bupati yang cakap dan mana bupati yang salah kamar.
Bupati-bupati yang salah kamar cenderung sangat reaktif terhadap tekanan-tekanan keuangan yang ada di wilayahnya. Mereka tidak punya keberanian mengambil langkah tidak populer, karena tidak yakin terhadap masa depannya. ”Pemerintah itu bergerak di bidang bisnis informasi,” demikian kata Michael R. Nelson, Direktur Kebijakan Teknologi pada Federal Communications Commission (FCC).
Itu sebabnya di negara-negara maju pemerintahnya menanamkan investasi besar-besaran untuk menyajikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Informasi tentang cuaca, pajak, hasil-hasil penelitian, angka-angka statistik, perubahan penduduk, potensi usaha, sumber daya alam, susunan pemerintah, nama-nama pejabat dan pengusaha, rencana pemerintah ke depan, fasilitas yang tersedia, kondisi keuangan pemerintah, jumlah bank dan uangnya yang berputar, dan lain sebagainya. Informasi-informasi itu digunakan untuk menjawab pertanyaan ”Mengapa kita membutuhkan pemerintah?” Jawabannya adalah karena kita membutuhkan rasa aman, nyaman, dan sejahtera.
Data tentang Rusia malah lebih tersedia Bagi dunia usaha, informasi adalah faktor produksi yang sama pentingnya dengan modal. Bahkan, informasi mendahului datangnya modal. Karena tidak ada informasi yang jelas, Indonesia sekarang menjadi pengimpor kulit kina. Padahal dulu Indonesia adalah eksportir kina terbesar. Petani yang putus asa menebang pohon kina, menggantinya dengan kopi ketika harga kina anjlok. Sekarang, ketika harga kulit kina naik, tak mudah menanamnya kembali karena dibutuhkan waktu panjang untuk memanennya kembali.
Seorang investor lain menghubungi bupati dan menyatakan kesediaannya membuka lahan sekian ratus hektare untuk suatu jenis tanaman. Setelah diteliti dan teknologinya ada, bupati mendukung, barulah dimulai riset untuk mengembangkan. ”Karena keahlian tidak ada, kami berangkat ke Thailand, belajar di sana. Belakangan kami tahu riset seperti itu sudah ada di salah satu balai riset di Bogor,” ujar pengusaha tadi. Padahal, di Thailand mereka sudah mengeluarkan biaya riset ratusan ribu dolar. Mengapa hal itu terjadi? Karena di sini tidak ada informasi itu.
Pengusaha ternyata lebih mudah mendapatkan informasi tentang potensi usaha di Rusia dan India ketimbang di kabupaten-kabupaten di Indonesia. Mengapa pemda kabupaten tidak mulai dengan mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang dimilikinya? Mungkin mereka juga tidak tahu, tapi mungkin juga tidak merasa perlu untuk tahu. Upaya mencari tahu dengan mengumpulkan data-data itu, lalu menyediakannya lewat media-media yang mudah diakses seperti internet adalah awal untuk menggerakkan perekonomian daerah.
Bagi investor yang menggarap seluruh wilayah Nusantara, bangkitnya daerah-daerah tentu merupakan kabar baik sekaligus kabar buruk. Kabar baik karena izin investasi di daerah bisa lebih cepat diperoleh kalau bupatinya ”probisnis”. Kabar buruknya, ya apalagi kalau bukan perilaku bupati yang ”antibisnis” dan hanya peduli terhadap kesejahteraannya sendiri. Bagi marketer yang memasarkan barang-barang massal kebutuhan sehari-hari, tentu ini saatnya melakukan resegmenting, relocation, dan redifferentiation.
Bagi pemda, keunggulan kompetitif alias competitive advantage pada dasarnya adalah fungsi dari strategi pemasaran, implementasi, dan konteksnya. Ketiga faktor ini harus sama kuatnya. Tanpa memperhatikan konteks, misalnya, strategi pemasaran yang kuat adalah sia-sia. Demikian pula tanpa kepemimpinan yang kuat, implementasi tidak akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini, daerah harus mengembangkan mekanisme yang pas untuk melahirkan pemimpin yang cocok dengan tuntutan zaman. Bisnis hanya merespons positif kalau mereka membaca pemda-pemda itu dikelola orang-orang yang memang layak memimpin dan memiliki akar kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar