Senin, 23 Juni 2008

HORMAT

INGATAN paling jelas dari masa sekolah saya adalah hari pertama, ketikadiantar Ibu. Saat itu semuanya terasa asing. Terutama ketika belajar memberihormat kepada guru, Sang Saka Merah-Putih, dan lagu kebangsaan IndonesiaRaya.

Pelajaran terpenting mungkin adalah kedisiplinan berhormat. Itulahyang banyak mengubah perilaku saya kemudian.Belajar menghormati merupakan jurus bisnis yang penting pula.

Pekan lalu, diHong Kong, saya sarapan di sebuah warung bubur. Tempatnya sangat sempit.Orang berdesak-desakan. Beberapa konsumen tak sabar menunggu. Saya kagum melihat cara mereka makan. Bubur panas mendidih itu habis diseruput kurangdari lima menit. Saya butuh lebih dari 15 menit.Bagi orang Hong Kong, waktu memang komoditas sangat berharga. Mereka sangatmenghormatinya. Jangan heran bila melihat orang Hong Kong berjalantergesa-gesa, saling mendahului. !

Lain dengan kita. Rasa hormat kitaterhadap waktu tak setebal mereka. Sampai-sampai di masyarakat kita beredaristilah populer jam karet. Beberapa buku petunjuk bisnis di Indonesia mencantumkan fenomena jam karet sebagai sebuah budaya yang dianut banyak orang.

Sebagai bangsa Indonesia, saya malu akan hal ini.Rasa hormat perlu juga kita tanamkan terhadap uang atau duit. Dalam hal ini,kita punya prestasi buruk. Ke mana-mana saya pergi, bangsa kita dikenal bukan sebagai bangsa irit.

Di Arab, misalnya, beredar cerita bahwa jamaahhaji kita adalah konsumen royal yang senang belanja perhiasan. Di Singapura,konsumen Indonesia dikenal doyan belanja. Di California, kita bisa mengenalimobil mahasiswa Indonesia yang terkenal bergaya mewah dan berkaca gelap.Saya sering minder melihat "prestasi" ini.

Saya baru saja mendapat kado, sebuah buku karangan Martin S. Fridsonberjudul How to be a billionaire. Buku itu diberikan sebagai sebuah sindirankarena obsesi ! saya yang ingin mencari istri kaya raya. Buku ini menarik.Di buku itu ada kutipan Franklin D. Roosevelt. Bunyinya, "Kebahagiaan kitabukan karena kita memiliki banyak uang. Namun justru pada prestasi danusaha-usaha kreatif dalam mencarinya."

Orangtua kita berkali-kali mengingatkan betapa sulitnya mencari uang. Nasihat itu semata-matadikumandangkan agar kita belajar lebih banyak menghormati uang, dan hidupirit.Hal lain yang sering juga saya sesali adalah betapa saya acapkali meremehkan lawan.

Padahal, seorang mentor pernah memberikan wejangan: dalam pertarungan bisnis, teman terbaik kita seringkali adalah justru musuh-musuh kita. SamWalton, pendiri perusahaan raksasa retail Amerika terkenal, Wal-Mart, pernahberkata: "Kebanyakan trik saya ditiru dari orang lain."Kalimat tersebut merupakan ucapan penuh keberanian dari seorang yang punyarasa hormat begitu tinggi terhadap musuh dan lawan mereka.

Tak mengherankan bila salah satu komentar Gus Dur ketika! lengser adalah kesalahannya dalam meremehkan kekuatan lawan. Belajar menghormati lawan sering sulit kitalakukan. Dalam bisnis, ini sering jadi kunci menentukan.Tiga hal di atas, kemampuan menghormati waktu, uang, dan lawan, tak jarangsaya temukan sebagai tiga serangkai ciri khas para entrepreneur kaliberatas.

Belajar menghormati waktu, uang, dan lawan tidaklah mudah. Perlu kerendahan hati luar biasa.Saya bersyukur, di sekolah dulu saya punya guru yang secara pas menunjukkan kepada saya metode yang tepat. Walaupun demikian, saya masih harus terusbelajar. Semuanya karena alasan yang sederhana. Waktu dan perubahan makincepat. Nilai uang kita makin kecil karena inflasi dan krisis ekonomi.

Lawan dan kompetitor kita makin banyak dan canggih. Rasa hormat kita terhadapwaktu, uang, dan lawan jelas makin kompleks dan sulit. Kita perlu menguraskerendahan hati kita hingga ke dasar paling dalam.

Kafi Kurnia

Tidak ada komentar: